Tes COVID-19 PCR, Antigeen, dan Serologi Antibodi: Lebih Akurat yang Mana? - Gezondheid Liputan6.com

2021-12-14 20:41:40 By : Ms. Amy Li

Liputan6.com, Jakarta Tes COVID-19 serologi antibodi Electro-Chemiluminescence Immunoassay (ECLIA) mulai diminati sejumlah rumah sakit, salah satunya Siloam Hospitals Group. Wakil Direktur Utama Siloam Hospitals Group Caroline Riady menyampaikan, keunggulan tes serologi antibodi tersebut antara lain, tingkat sensitivitas hingga 100 persen dan spesifisitas lebih dari 99,81 persen. 

Pemeriksaan woordspeling relatif cepat dan berakurasi tinggi yang dapat dilakukan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit, mobiel testen atau on site atau di tempat. Het is een antibodi ini mendeteksi antibodi seorang voor mengetahui, apakah seseorang terinfeksi oleh SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 atau belum. Harganya jauh lebih murah ketimbang tes PCR dan Tes Cepat Molekuler (TCM). 

Menyentil pernyataan akurat atau tidaknya suatu tes COVID-19, baik PCR, antigeen, dan serologi antibodi, Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian, Juru Bicara Satuan Tugas COVID-19 RS Universitas Sebelas Maret (UNS) Tonang Dwi Ardyanto memberikan penjelasan.

Bahwa voor menilai keakuratan setiap jenis tes COVID-19 perlu menyesuaikan pemeriksaan dengan waktu yang tepat.

"ECLIA itu lebih sensitif daripada tes laterale chromatografie (afgescheiden kehamilan yang disebut Strip Test dengan methode Laterale chromatografie). Dikatakan lebih sensitif (dibanding sneltest-antibodi) dalam arti, dapat mendeteksi adanya antibodi dalam kadar lebih rendah,” jelas Tonang saat dihubungi Gezondheid Liputan6.com melalui pesan tertulis, ditulis Kamis (27/8/2020).

“Hanya saja berbeda dari tes antibodi biasa (snelle test-antibodi). ECLIA membutuhkan mesin, jadi tidak bisa dilakukan di sembarang tempat.”

Test COVID-19 yang banyak digunakan saat ini adalah tes usap untuk virus korona atau tes darah untuk antibodi. Tapi jenis tes baru yaitu tes COVID Menggunakan air liur mulai banyak dikembangkan. Tes seperti ini bisa mempercepat dan memperluas pengumpu...

Voor de behandeling van COVID-19, de mening van de mens voor de ziekte van yang voor de behandeling van COVID-19. Tes COVID-19 menargetkan RNA virus Corona (moleculair) dan eiwit (serologi). 

“Yang menargetkan RNA-virus Corona menggunakan methode PCR dan Tes Cepat Molekuler (TCM), sedangkan yangmenggunakan doeleiwit terbagi dua juga, yakni antigeen en antibodi. Antigeen itu-eiwit dari-virus yang masuk tubuh manusia. Kalau kita menargetkan tes antibodi yakni mendeteksi adanya eiwit manusia, baik respons terhadap masuknya virus COVID-19”, terangnya.

Dalam penyebutan tes COVID-19, Tonang meluruskan, seringkali orang menyebut dengan tes wattenstaafje. Padahal, wattenstaafje adalah cara pengambilan sampel dilakukan melalui nasophing (bagian atas tenggorokan) dan orofaring (bagian tengah faring). Voor penyebutan snelle test, yang berarti tes cepat juga bisa membuat bingung. Kalau hanya menyebut snelle test, maka TCM, antigeen, dan antibodi juga termasuk kategori snelle test. 

“Yang disebut snelle test maksudnya hasil pemeriksaan keluar tidak sampai dalam hitungan jam, tapi cukup hitungan menit. TCM yang juga snelle test ya sekitar 50 menit. Antigen juga begitu, proza ​​20 sampai 22 menit sudah keluar hasilnya. Antibodi sama seperti antigeen, ya maksimal 20 menit,” ucap Tonang.

“Kita sepakati, boleh menyebut tes PCR, tes cepat PCR, tes antigeen, dan tes antibodi. Jangan nyebut tes rapid, bingung. Jangan juga nyebut tes wattenstaafje, ini harus dihindari. Karena rapid dan wattenstaafje adalah penyebutan metodenya.”

Keakuratan jenis tes COVID-19 didukung cara pengambilan sampel sesuai waktu yang tepat. Oleh karena itu, membaca perjalanan penyakit COVID-19 perlu dipahami. Perjalanan COVID-19 yang dimaksud yakni dari masa inkubasi, timbulnya gejala, dan masa penyembuhan.

Riwayat kontak dengan individuele yang terpapar atau positif COVID-19 juga menjadi faktor utama dalam menentukan waktu pengambilan sampel dengan jenis tes yang tepat.

“Kita lihat sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada hari ke-0 sampai hari ke-5, RNA coronavirus sudah mencapai puncak pada hari kelima. Artinya, sudah ada-virus, tapi belum ada gejala. Pada phase ini, kita bisa lakukan tes dengan TCM atau PCR, hasilnya akan positif," Tonang menerangkan.

”Kalau memang tidak memungkinkan pemeriksaan dengan PCR dan TCM, kita bisa gunakan tes antigeen, yang hasilnya akan reaktif. Tapi kalaumenggunakan tes antibodi atau serologi antibodi pada phase hari ke-0 sampai ke-5 akan menimbulkan hasil non reaktif. Nee, ini yang bikin salah paham. Kok snel antilichaam non reaktif, tapi PCR-nya positif.” 

Tonang menjelaskan terkait salah kaprah tersebut. Ia menjelaskan, antibodi baru akan terdeteksi sepenuhnya sekitar hari ke-10 atau ke-12. Ketika individueel positief dari hasil TCM/PCR dan reaktif hasil tes antigeen, hari-hari berikutnya akan mulai muncul gejala.

Sementara gejala seperti batuk, pilek, dan griep akan muncul sekitar hari ke-6. Seiring hal waktu, jumlah antigeen akan menurun pada rentang hari ke-7 sampai ke-9. Antibodi perlahan-lahan geest kat.

“Saat antigeen mulai menurun, kita masih bisa mendapatkan hasil TCM/PCR positief dan tes antigeen mungkin masih reaktif. Sementara antibodi muncul ya pada hari ketujuh dan kedelapan dengan kadar masih rendah. Biasanya antibodi mulai terasa terdeteksi sekitar hari ke-10 atau ke-12. Nee, itu baru akan mudah terdeteksi. Kemudian antibodi akan memuncak pada hari ke-14,” jelasnya.

“Pada hari ke-14 itulah, tes PCR/TCM bisa positief dan negatief. Tes-antigeen is niet-reactief. Kenapa begitu? Karena RNA-virus dan antigeen jumlahnya bisa turun, bahkan bisa turun sekali, sehingga tes dengan deteksi RNA dan antigeen, hasilnya akan negatif. Sebaliknya, immunoglobuline M (IgM) dan immunoglobuline G (IgG) antibodi justru reaktif dan semakin menguat.”

pada hari ke-21 dan selanjutnya, tes antibodi atau serologi antibodi akan reaktif. Antibodi yang reaktif ini berarti pasien sudah memasuki masa penyembuhan dan punya potensi kekebalan. Terbentuknya-antibodi diiringi sistem tegen yang terbangun voor melawan-virus.

“Kan pada tahap ini tes antibodi reaktif, seringkali membuat pasien tidak boleh ke mana-mana. Ini kurang pas je. Karena sebenarnya pasien sudah pernah melewati fase sakit dan positif, lalu menjadi negatif (tes PCR/TCM) sekarang. Pakai sneltest antigeen juga begitu, hasilnya akan non reaktif,” tambah Tonang dalam video unggahan di akun Youtube pribadinya.

"Apakah sudah pasti kebal? Bilamana terjadi proza ​​reinfeksi, yang artinya infeksi berulang. Maka akan muncul sebentar RNA-coronavirus. Deteksinya, kita bisamenggunakan TCM/PCR yang hasilnya bisa positif. Walaupun sempat muncul lagi RNA coronavirus, segera dilawan sistem imun.”

Dalam hal ini, sel memori yang terbentuk pada sistem imun berperan menyimpan data-antigeen. Ketika antigeen tertentu kembali masuk, tubuh woordspeling bisamengali si musuh ini, lalu sistem imun akan beraksi melawanya. Lebih lanjut, Tonang menyampaikan, soal anggapan penggunaan snelle test antigeen lebih akurat dibanding tes antibodi.

Sneltest antigeen disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 15 juli 2020. Rekomendasi ini sudah mulai mencuat pada 8 april 2020. Seiring perjalanan, WHO lidikan rekomendasi bahwa sneltest antigeen dapat digunakan bilamana memang tidak tersedia PCR/TCM penanga pasukdapat waktu COVID-19 dan proses penanggulangan pandemi.

Untuk akurasi memang membutuhkan waktu. Pada awal penggunaan seringkali tidak sesuai harapan. Namun, setelah ditelisik lebih jauh, sneltest antigeen akan bagus tatkala jumlah virus Corona tinggi. Waktu pengambilan monster woordspeling sebelum muncul antibodi. 

“Menilai snelle test antigeen bukan berarti tes antigeen akan lebih akurat daripada antibodi atau serologi antibodi. Ja, harus sesuai dengan tujuannya. Kalau mau mendeteksi virus pada phase awal dan sebelum timbul gejala yamenggunakan tes antigeen. Setelah muncul gejala, baru bisamenggunakan tes antibodi,” jelas Tonang yang merupakan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesië (PDS Patklin).

“Snelle test antistof akan semakin menguat dan sensitif seiring perjalanan penyakit pada minggu kedua dan ketiga setelah timbulnya gejala. Kemudian pada minggu keempat sudah 100 persen akurasinya. Jadi, kalau menilai suatu tes COVID-19 akurat atau tidak sesuai dengan tempat dan waktunya. Tidak bisa membanding-bandingkan karena tempatnya (tujuannya) lain-lain.”

Situasi COVID-19 saat ini tenaga kesehatan juga dihadapkan pada pasien tanpa gejala atau Orang Tanpa Gejala (OTG)--yang masuk dalam kasus suspek--dan kontak erat. Lantas pemeriksaan apa yang tepat untuk individuele tersebut? 

“Kita tidak pernah tahu kapan mulai terjadi infeksi. Enggak ada gejala, enggak ada kontak eratnya kapan. Entah dia pada posisi fase awal (hari ke-0 sampai ke-5) atau lebih dari waktu tersebut. Jadi, kita tidak bisa lakukan tes seperti biasanya, yang mana pasien jelas ketahuan kontak erat dengan siapa dan gejalanya timbul,” Tonang memaparkan.

“Yang kita lakukan dengan pertama-tama tes PCR/TCM voor menilai apakah ada RNA coronavirus-nya. Kalau penggunan PCR/TCM tidak memungkinkan karena tidak adanya akses, kita lakukan bisa lakukan dengan tes antigeen. Kalau tegen antigeen sudah jelas hasilnya, baru kita cek dengan tes antibodi. Ini untuk menilai juga apakah orang tersebut pernah kena virus Corona. Tentunya, untuk konfirmasi diagnose tetap menggunakan tes PCR/TCM.”

Tonang menekankan setiap jenis tes COVID-19 tidak bisa dibanding-bandingkan satu sama lain, tergantung situasi dan perjalanan penyakit. Tidak bisa membandingkan, lebih akurat tes antigeen ketimbang antibodi. Ini karena memang titik waktu pemeriksaan dan perjalanan penyakit seseorang berbeda. 

Senada dengan Tonang, peneliti biomolekuler Ahmad Utomo menegaskan, jenis tes COVID-19 yang akan digunakan sebagaimana tujuan penggunaan. Penggunaan tes PCR dan serologi harus mengingat dulu, apa yang menjadi fokus kita dalam pengendalian COVID-19.

Apabila kita ingin memutus rantai transmisi ataumengali orang yang positief COVID-19 harus menggunakan tes RT PCR. 

“Tapi kalau kita ingin menguji keberhasilan vaksinasi atau melihat beban wilayah yang terpapar COVID-19 tentu tes serologi lebih bagus. Tes PCR gevoelig voor bisa mendeteksi adanya virus COVID-19 dalam rentang waktu 5 hari sebelum gejala timbul (hari ke-0 sampai ke-5), ucap Ahmad saat sesi diskusi virtueel.

Keakuratan tes snelle ternyata juga sangat bervariasi. Banyak sekali merk menyatakan 90 sampai 100 persen akurat, tanpa menampilkan kapan tes dilakukan, apakah pada phase awal (1-7 hari), tengah (8-14 hari), akhir (>14 hari) pasca gejala. Dari data yang saya himpun, tampak mayoritas tes serologi ini bagus digunakan di phase akhir (lebih dari 14 hari) setelah timbul gejala.”

Lebih lanjut, Ahmad menerangkan, setiap jenis tes COVID-19 yang digunakan juga melihat konteks waktu diagnostik dikerjakan. Dalammengdalikan wabah COVID-19, kita harus mengetahui siapa saja yang telah terinfeksi aktif. Artinya, kalau kita melihat virus masihmenginfeksi bisamenggunakan tes PCR. 

“Karena pada fase awal ini belum terbentuk antibodi. Antibodi biasanya terlihat sekitar seminggu atau dua minggu pasca gejala. Antibodi ini terbentuk sebetulnya cukup lama. Het is mogelijk om een ​​antibodi te gebruiken voor de diagnose van de diagnose, melainkanmengidentifikasi orang-orang yang sudah pernah kena COVID-19”, lanjutnya.

“Intinya begini, untuk menegakkan standaard diagnose, kitamenggunakan tes PCR. Kegunaan test antibodi itu juga bagus, tetapi dia akan tepat digunakan untuk mengetahui, apakah orang-orang pernah terpapar atau tidak. Sebetulnya antara tes PCR dan serologi antibodi memiliki kegunaan masing-masing.”